Kamis, 27 Mei 2010

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN (1)


I. PENDAHULUAN
Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis.
Dalam sejarah Islam, empat orang pengganti Nabi yang pertama adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang guru Agung bagi kemajuan Islam dan umatnya. Karena itu gelar “Yang mendapat bimbingan di jalan yang lurus” (al-Khulafaurrasyidin) diberikan kepada mereka.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian khulafaurrasyidin
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi, Abu Bakar bergelar “Khafilah Rasulillah” atau Khalifah saja (secara harfiyah artinya; orang yang mengikuti, pengganti kedudukan Rosul) . Sedangkan menurut Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. beliau menjelaskan bahwa Khulafaur Rasyidin secara harfiyah berarti para pemimpin yang jujur dan lurus. Istilah tersebut diberikan kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah Umar ibn al-Khattab, Khalifah Usman ibn ‘Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Meskipun dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa kedudukan Nabi sesungguhnya tidak akan pernah tergantikan, karena tidak ada seorangpun yang menerima ajaran Tuhan sesudah Muhammad. Sebagai saluran wahyu-wahyu yang diturunkan dan sebagai utusan Tuhan tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan Rasul (Khalifah) hanyalah berarti memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk meneruskan perjuangan Nabi.

B. Proses pemilihan Khalifah pasca wafatnya Nabi saw.
Nabi Muhammad saw,. Tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan sepeninggalnya dalam memimpin umat yang baru terbentuk. Memang wafatnya beliau mengejutkan, tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika beliau mengalami gangguan kesehatan sekurang-kurangnya selama tiga bulan, Nabi Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba.
Masalah suksesi mengakibatkan umat Islam menjadi sangat tegang. Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh diantara sesama pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Ansor. Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini; Ansor, Muhajirin, dan keluarga Hasyim.
Dalam pertemuan di balai pertemuan Bani Saidah di Madinah, kaum Ansor mencalonkan Sa’ad bin Ubadah, pemuka Khazraj, sebagai pemimpin umat. Sedangkan Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling layak untuk menggantikan Nabi. Dipihak lain ada sekelompok orang yang menghendaki Ali ibn Abi Tholib, karena Nabi telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya.
Situasi itu demikian kritis, pedang hampir saja terhunus dari sarungnya. Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus Nabi. Namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar ibn Khattab, dan Abu Ubaidah ibn Jarrah yang dengan semacam kup (coup d’etat) terhadap kelompok, memaksa AbuBakar sendiri sebagai deputy Nabi. Besar kemungkinan tanpa intervensi mereka persatuan umat yang menjadi modal utama bagi hari depan komunitas muslim yang masih muda itu berada dalam tanda tanya besar. Dengan semangat ukhuwah islamiyyah terpilihlah Abu Bakar. Dia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal, karena sejak mula pertama menjadi pendamping Nabi, dialah sahabat yang paling memahami risalah Muhammad.

C. Kelahiran Abu bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar Ash-Shiddiq (nama lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Mas’ud bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At-Taimi Al-Qurasyi. Berarti silsilahnya dengan Nabi bertemu pada Murrah bin Ka’ab). Dilahirkan pada tahun 573 M. Dia dilahirkan di lingkungan suku yang sangat berpengaruh dan suku yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar. Ayahnya bernama Utsman (Abu Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Saad bin Laym bin Mun’ah bin Ka’ab bin Lu’ay, berasal dari suku Quraisy, sedangkan ibunya bernama Ummu Al-Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad
Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali masuk Islam ketika Islam mulai didakwahkan. Baginya, tidaklah sulit untuk mempercayai ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw,. Dikarenakan sejak kecil Ia telah mengenal keagungan Muhammad saw,. Setelah masuk Islam, Ia tidak segan untuk menumpahkan segenap jiwa dan harta bendanya untuk Islam. Tercatat dalam sejarah, dia pernah membela Nabi tatkala Nabi disakiti oleh kaum Quraisy, menemani Rasul hijrah, membantu kaum yang lemah dan memerdekakannya, seperti terhadap Bilal, setia dalam setiap peperangan, dan lain-lain.

D. Perkembangan Islam Masa Abu Bakar ra. ( 11-13 H / 632-634 M)
Sepak terjang pola pemerintahan Abu Bakar dapat dipahami dari pidato Abu Bakar ketika Ia diangkat menjadi khalifah. Secara lengkap isi pidatonya seperti berikut.
“Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu penghianatan. Orang yang lemah diantara kamu adalah orang yang kaut bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang kuat diantara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil haknya, Insya Allah. Janganlah salah seorang dari kamu meningglkan jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah SWT akan menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku patuh kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, jika aku tidak menaati kepada Allah SWT dan rasul-Nya, sekali-kali janganlah kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah SWT merahmatimu”.
Ucapan pertama kali dibai’at (pidato kenegaraan pertama) ini menunjukkan garis besar politik dan kebijakan Abu Bakar dalam pemerintahannya. Di dalamnya terdapat prinsip kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan, dan mendorong masyarakat berjihad, serta shalat sebagai intisari taqwa. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintahan Abu Bakar melanjutkan kepemimpinan sebelumnya. diantara kebijaksanaannya adalah sebagai berikut.
a. Kebijaksanaan pengurusan terhadap Agama.
Pada awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari umat Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Diantara perbuatan makar tersebut ialah timbulnya orang-orang yang murtad, orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, orang-orang yang mengaku menjadi nabi, dan pemberontakan dari beberapa kabilah.
b. Kebijaksanaan kenegaraan
Diantara kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan atau kenegaraan, diuraikan sebagai berikut.
1. Bidang eksekutif
Pendelegasian tugas-tugas pemerintahan di Madinah maupun daerah. Misalnya untuk pemerintahan pusat menunjuk Ali bin Abi Tholib, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan. Untuk daerah-daerah kekuasaan Islam, dibentuklah provinsi-provinsi, dan untuk setiap provinsi dibentuk seorang amir.
2. Pertahanan dan keamanan
Dengan mengorganisasikan pasukan yang ada untuk mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan. Pasukan itu disebarkan untuk memelihara stabilitas di dalam maupun di luar negeri. Diantara panglima yang ada ialah Khalid bin Walid, Musanna bin Harisah, Amr bin ‘Ash, Zaid bin Sufyan, dan lain-lain.
3. Yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan oleh Umar bin Khatthab dan selama pemerintahan Abu Bakar tidak ditemukan suatu permasalahan yang berarti untuk dipecahkan. Hal ini karena kemampuan dan sifat Umar sendiri, dan masyarakat pada waktu itu dikenal ‘alim.
4. Sosial ekonomi
Sebuah lembaga mirip dengan Bait al-Mal, di dalamnya dikelola harta benda yang didapat dari zakat, infaq, shadaqah, ghanimah, dan lain-lain. Penggunaan harta tersebut digunakan untuk gaji pegawai negara dan untuk kesejahteraan umat sesuai dengan aturan yang ada.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Ia meninggal dunia, pada hari senin, 23 Agustus 634 M. Setelah lebih kurang selama 15 hari terbaring di tempat tidur. Dia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibn ‘Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia delapan belas hari kemudian sampai ke Suria.
Bentuk peradaban yang paling besar dan luar biasa dan merupakan satu kerja besar yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan Al-Qur'an. Abu Bakar As-Shidiq memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Qur'an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hafalan kaum Muslimin. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga dan melestarikan Al-Qur'an setelah syahidnya beberapa shahabat penghafal Al-Qur'an pada perang Yamamah. Umarlah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan Al-Qur'an ini sejak itulah Al-Qur'an dikumpulkan dalam satu mushaf.





III. PENUTUP
.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa’ al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan khalifah-khalifah sesudahnya sering bertindak otoriter . dan akan dibahas pada pemakalah berikutnya.



Daftar Pustaka


http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-151.html
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta, Logos. 1997.
Nata, Abuddin. Metodelogi Studi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Atsir, Ibn. al-Kamil fi-Tarikh II, Beirut, Darus sadir, 1965.
Said, Amin. Nasy’atud Daulat al-Islamiyah, Mesir, Isa al-Halabi. tt.,
Ali Al-Musawi, Abu Hasan. Nahjul Balaqah, YAPI, Lampung, 1990.
Lewis, Bernard. Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pedoman Ilmu, 1988,
Rida, M. Abu Bakar Ash-Shiddiq Awalu Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.
Dewan Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Annajar, Abi Al-Wahid. AlKhulafa Ar-Rasyidin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyat, 1990.
Amin, Ahmad. Fajr Al-Islam. Kairo: Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah,
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Press), 1985.

Kamis, 13 Mei 2010

MASUKNYA ISLAM DI JAWA DAN PROSES ISLAMISASINYA

MASUKNYA ISLAM DI JAWA DAN PROSES ISLAMISASINYA


I. PENDAHULUAN
Beberapa kesulitan yang ditemukan dalam penulisan sejarah masuknya Islam di jawa ini adalah kurangnya bukti-bukti yang otentik yang dapat dipercaya yang menunjukkan masuknya Islam di Jawa. Kalaupun kemudian ditemukan bukti-bukti, tetapi karena sangat minimnya bukti-bukti, akan menimbulkan kesulitan dalam mengidentifikasi sumber-sumber yang ada. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya pembuktian.
Sumber pertama berbentuk artefak melalui penelitian arkeologi, dan sumber kedua adalah dari teks-teks histiografi tradisional. Telaah sumber sejarah dalam bentuk artefak dalam tulisan ini hanya mengandalkan pada apa yang telah banyak diteliti para arkeolog, sedangkan untuk sumber tradisional tulisan ini menelaah teks-teks babad.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja bukti peninggalan sejarah masuknya Islam di jawa?
2. Bagaimana proses masuknya Islam dan proses Islamisasinya di Jawa khususnya?
3. Siapa yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa?

III. PEMBAHASAN

A. Bukti Pertama Islam di Jawa
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang sangat beragam. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam masuk ke Sumatera, yang di yakini abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Setidaknya pendapat ini disokong oleh Hamka, dengan alasan adanya berita Cina yang mengisahkan kedatangan Raja Ta Cheh kepada ratu Sima. Adapun Raja Ta Cheh menurut Hamka, adalah Raja Arab dan Khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa itu terjadi pada saat muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Ruban Levy menyatakan bahwa jumlah kapal yang di miliki oleh muawiyah pada 34 H atau 654/655 M adalah sekitar 5000 buah. Tentu armada kapal ini berfungsi pula untuk melindungi armada niaganya. Oleh karena itu, tidaklah mustahil pada tahun 674 M Muawiyah dapat mengirimkan dutanya ke Kalingga.
Dalam bentuk artefak kita dapatkan bukti-bukti itu dalam bentuk makam, (batu nisan) masjid, ragam hias, dan tata kota.
a. Makam
Bukti sejarah yang faktual adalah ditemukannya Batu Nisan Fatimah binti Maimun di leran Gresik berangka tahun 475 H (1082 M). Moqoutte seperti di kutip Satono Kartodirjo, mengatakan bahwa batu nisan itu mungkin merupakan bukti yang konkrit bagi kedatangan Islam di Jawa.
Pada nisan makam itu tercantum prasasti berhuruf dan berbahasa Arab, yang menyatakan bahwa makam itu adalah kubur Fatimah Binti Maimun bin Hibatullah yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H bertepatan dengan tanggal 1 Desember 1082 M, yang berarti masih jaman Kediri. (1042-1222). Di kampung kota Gresik juga terdapat makam kuno, yaitu kubur Malik Ibrahim yang meninggal tanggal 12 Rabiul Awal 822 H, bertepatan dengan 8 April 1419.


b. Masjid
Sumber sejarah dalam bentuk arkeologi yang berupa bangunan Masjid juga banyak ditemukan di Jawa. Berdirinya sebuah masjid di wilayah menunjukkan adanya komunitas muslim di wilayah tersebut. Masjid tidak hanya menjadi tempat untuk beribadah kepada Tuhan, tetapi lebih dari itu masjid dikalangan umat Islam berfungsi sebagai Islamic Center. Hal yang sama dari fungsi itu juga tampak pada masjid-masjid yang didirikan Nabi Muhammad saw. Untuk menyebutkan masjid-masjid di Jawa yang awal memang butuh penelitian tersendiri (mungkin masjid di Demak bisa menjadi contoh). Namun kalu kita lihat dari corak arsitekturnya, masjid-masjid di Jawa pada garis besarnya beratap tumpang, berdenah persegi, berukuran relatif besar, terdiri atas ruang utama, pawestren-serambi, mempunyai ruang mihrab, ada tempat mengambil air wudlu, ada kolam di depan serambi, dan mempunyai pagar keliling. Selain itu di dalam bangunan masjid terdapat kelengkapan tergantung pada jenis masjidnya, antara lain: mimbar, maqsuro, bedug, kentongan. Tentang menara masjid-masjid kuno di Jawa tidak banyak mempunyai ornamentasi, kecuali pada mimbarnya.
Lebih jauh G.F. Pijper menjelaskan bahwa ciri khas masjid di Jawa (masa kemudian setelah munculnya kekuasaan politik Islam :pen) ialah di bangun di sebelah barat alun-alun, sebuah lapangan persegi yang ditanami rumput, dan terdapat hampir di semua kota kabupaten dan kecamatan.
c. Ragam hias
Dengan diterimanya ajaran Islam sebagai penuntun hidup yang baru di Jawa, lahirlah beberapa ragam hias baru, yaitu kaligrafi, dan stiliran. Epitaph pada beberapa nisan kubur Troloyo menunjukkan adanya kesalahan-kesalahan penulisan tanda vokal, dan bentuk huruf arab yang tidak “mengalir” dengan luwes. Prasasti berhuruf Arab pada makam Fatimah binti Maemun yang jauh lebih tua justru menampakkan keindahannya dan dapat digolongkan ke dalam tulisan Arab bergaya Kufi. Namun prasasti dengan angka-angka Jawa kuno pada nisan-nisan Troloyo tampak luwes, tidak kaku.
Selain munculnya ornamentasi dengan menggunakan huruf-huruf Arab, muncul pula ragam hias baru, yaitu stiliran/penggayaan terhadap ragam hias binatang. Dalam ragam hias baru ini binatang sebagi motif utama digayakan dengan menggunakan ragam hias tumbuhan sedemikian rupa sehingga seringkali untuk mengidentifikasinya harus dilakukan pengamatan secara cermat. Contoh-contoh yang bagus ditampilkan antara lain pada sebagian panil relief di Mantingan, Gapuro B di Sendang Duwur.
d. Tata kota
Dalam masa Islam, di Jawa muncul kota-kota baru diwilayah pantai dan pedalaman seperti Demak, Cirebon, Banten, Pajang dan Kota Gede. Kota-kota itu ada yang masih hidup terus, ada pula yang sudah mati hampir tidak berbekas lagi. Akan tetapi dari data arkeologi yang terkumpul dapat diketahui komponen utama kota-kota tersebut, yaitu keraton, alun-alun, masjid agung, pasar, pemukiman penduduk, pemakaman serta sarana pertahanan keamanan. Semuanya diatur dalam tata ruang tertentu yang secara garis besar menunjukkan suatu kesamaan.

B. Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Jawa
Hingga kini belum ada kesepakatan diantara para ahli mengenahi awal masuknya Islam ke Jawa. Ada sejumlah teori yang dikemukakan, tetapi bersama itu pula muncul keberatan-keberatan yang pada dasarnya berpangkal pada ketidak otentikan atau ketiadaan dokumen yang otentik yang dapat memberi petunjuk. Teori-teori yang berkisar pada dua persoalan yaitu kapan masuknya Islam dan dari mana datangnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Islam sudah masuk ke wilayah Jawa semenjak abad XI
Atas dasar inskripsi di Leran, Gresik yang menjelaskan adanya seseorang yang bernama Fatimah binti Maimun, yang wafat pada tahun 1082. pandangan ini mengandung keberatan berbagai kalangan karena diduga batu nisan tersebut dibawa masuk ke Jawa setelah tahun yang tertera di dalamnya. Ricklefs lebih jauh menyatakan bahwa yang dikubur disitu bukanlah orang Jawa, tetapi kemungkinannya adalah orang luar yang kebetulan melancong di Jawa dan meninggal disana. Orang-orang Jawa yang ketika meninggal menggunakan nisan yang berasal dari luar Jawa sehingga dimungkinkan batu nisan yang ada di Leran tersebut juga dibawa dari luar Jawa setelah tahun yang tertera di dalam batu nisan tersebut.
2. Islam sudah berada di Jawa semenjak abad XIV
Berdasarkan batu nisan yang terdapat di Trowulan. Batu nisan tersebut menunjukkan tahun 1368 M yang memberi indikasi bahwa pada tahun itu sudah ada orang jawa dari kalangan kerajaan yang memeluk Islam atas perlindungan kalangan kerajaan. Kenyataan ini memberi petunujuk bahwa masuknya Islam pada tahun-tahun sebelum itu sudah barang tentu melalui kawasan pesisir yang kemudian menuju ke wilayah pedalaman.
3. Islam sudah berada di jawa pada abad XV
berdasarkan batu nisan yang berada di makam Maulana Malik Ibrahim yang meninggal pada tahun 1419. beberapa pandangan menyatakan bahwa ia adalah seorang kaya berkebangsaan persia yang bergerak di bidang perdagangan rempah-rempah. Pandangan lain menyatakan bahwa ia adalah salah seorang di antara wali sembilan yang dianggap penyebar Islam di pulau Jawa.
Diantara ketiga pandangan tersebut, pandangan terakhirlah yang paling menonjol dikalangan masyarakat luas hingga sekarang. Oleh karena itu, makam Maulana Malik Ibrahim selalu dikunjungi oleh masyarakat luas sebagai apresiasi mereka terhadap kepeloporannya sebagai penyebar Islam serta keberadannya sebagai wali yang biasanya diangap memiliki daya linuwih.
Hubungannya dengan asal-usul dan rute masuknya Islam ke Jawa terdapat juga teori yang berbeda satu sama lain, yaitu:
2. Islam masuk ke jawa berasal dari arab secara langsung.
Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia berasal dari mazhab Syafi’i, suatu mazhab yang pada waktu itu sangat dominan di wilayah semenanjung Arabia bagian selatan. Hal ini dikuatkan dengan adanya anggapan bahwa pada waktu itu sudah ada rute pelayaran melalui Persia dan India kewilayah timur. Pandangan ini dikemukakan oleh Nieman dan dikuatkan Pijnaple. Di kalangan pengamat di Indonesia, maka Hamka masuk dalam kategori yang menyatakan demikian ini.
3. Islam masuk ke wilayah Jawa melalui jalur India.
Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Snouck Hurgronje ketika memberikan kuliah perpisahan di Universitas Leiden. Ia mengatakan bahwa Sumatera dan Jawa mengenal Islam liwat kontak yang terjadi dengan pedagang-pedagang dari India. Pandangan ini paling tidak didukung oleh tiga hal, yaitu : kenyataan adanya orang-orang Islam di wilayah India Selatan, adanya jalur perdagangan antara India Selatan dengan kepulauan Indonesia dan adanya elemen Islam yang amat menonjol dalam kegiatan perdagangan. Pandangan ini didukung dengan kenyataan bahwa batu nisan Malik Ibrahim berasal dari Gujarat. John F.Cady dalam bukunya South East Asia, Its Historical Beckground mendukung pandangan ini atas dasar kenyataan adanya orang-orang Gujarat yang banyak mendiami kawasan kota pelabuhan di pantai Utara Jawa.
4. Masuknya Islam ke Jawa melalui Kamboja.
Pandangan ini didasarkan pada adanya hubungan antara kepulauan Nusantara dengan kerajaan Cempa. Pada tahun 1471 kerajaan tersebut mengalami kekalahan dari orang-orang Vietnam Utara sehingga keluarga kerajaan mengungsi ke wilayah Malaka. Dari sini mereka kemudian melanjutkan perjalan ke wilayah-wilayah kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa.
5. Islam masuk ke wilayah Jawa berasal dari Cina.
Pandangan ini didasarkan cerita dari Jawa Timur yang berasal dari Serat Kanda yang menyatakan bahwa Raden Fatah adalah anak seorang wanita Cina. Anggapan ini diperkuat dengan cerita yang beredar di Jawa Barat atau sejarah Banten yang menyebutkan raja Demak sebagai Pati Raja Cina. Hikayat hasanuddin disebutkan dengan nama Cek Ko Po berasal dari Mongolia. Dalam Naskah Melayu yang diterbitkan perlindungan dijelaskan secara rinci tentang elemen-elemen Cina yang agak menonjol, seperti bangunan Klenteng-Klenteng besar yang konon adalah masjid yang dibangun oleh seorang muslim Cina yang masuk ke wilayah Indonesia pada masa kerajaan maritim. Naskah tersebut juga menjelaskan mengenai penyiar agama Islam yang ternyata adalah orang Cina.
6. Pandangan lain yang lebih bersifat merangkum teori-teori diatas menyatakan bahwa asal-usul Islam adalah dari para guru-guru sufi yang dalam perjalanan mereka ke wilayah Nusantara dengan melalui laut Hindia atau melalui jalur perdagangan sutera. Di kawasan Timur Tengah mereka menempuh perjalanan sungai ke Kanton, dan dari sinilah mereka menempuh perjalanan selanjutnya ke wilayah Cempa, Malaysia, dan Sumatera. Para guru sufi tersebut berasal dari kebangsaan yang bermacam-macam. Teori ini tidak dapat diabaikan karena dalam perkembangan Islam di Indonesia unsur sufisme juga amat dominan dalam kehidupan keagamaan.
Bukti sejarah yang paling faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H atau 1082 M. Sartono Kartodirjo, mengatakan bahwa batu nisan itu merupakan bukti yang paling konkrit bagi kedatangan Islam di Jawa. Pada nisan makam itu tercantum prasasti berhuruf dan berbahasa Arab, yang menyatakan bahwa makam itu adalah kuburan Fatimah binti Maimun binti Hibatallah yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H bertepatan pada tanggal 1 Desember 1082 M, yang berarti masih dalam zaman Kediri (1042-1222).
Batu nisan yang menyebutkan nama wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun ini diperkirakan bahwa di pantai jawa yaitu gresik, Tuban dan Jepara sudah ada komunitas Islam yang merupakan pusat perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan penyebaran agama Islam. Dari pusat perdagangan di pelabuhan sumatera dan jawa ini agama Islam kemudian menyebar keseluruh pelosok Nusantara dan kepulauan lainnya. (Arra, 1969: XIII). Maulana Malik Ibrahim, tokoh agama Islam bangsa Arab, pada tahun 1399 datang ke pulau Jawa. Beliau dari Arab lalu tinggal di Perlak dan Pasai, ke Gujarat, dan akhirnya menetap di Gresik sampai meninggalnya tahun 1419 M. (Zuhri,1981:231)
Sementara itu, Ricklefs dalam uraiannya mengatakan bahwa serangkaian batu nisan yang sangat penting ditemukan di kuburan-kuburan di jawa Timur, yaitu di Trowulan dan Troloyo, di dekat situs Istana Majapahit yang bersifat Hindu Budha. Batu-batu itu menunjukkan makam-makam orang muslim, tetapi lebih banyak menggunakan angaka tahun Saka India dengan angka-angka Jawa kuno dari pada tahun Hijrah Islam dengan angka-angka Arab. Tarikh Saka di pakai oleh istana-istana Jawa dari zaman Jawa Kuno hingga tahun 1633 M. Digunakannya tarikh Saka dan angka-angka Jawa kuno pada batu-batu nisan itu menunjukkan bahwa hampir dapat dipastikan bahwa makam itu merupakan tempat penguburan orang-orang muslim Jawa, dan bukan merupakan kuburan orang muslim asing.
Batu nisan yang pertama ditemukan di Trowulan memuat angka tahun Saka 1290 (1368-1369M). Di Troloyo ada beberapa batu nisan yang angka tahunnya berkisar antara 1298 Saka sampai 1533 Saka (1376-1611M). Batu-batu itu memuat kutipan-kutipan dari Al-Qur'an. Berdasarkan rumitnya hiasan yang terdapat pada beberapa batu nisan dan lokasinya yang dekat dengan situs Ibukota Majapahit, maka Damais seperti dikutip Ricklefs menarik kesimpulan bahwa batu-batu nisan itu mungkin untuk menandai kuburan-kuburan orang Jawa yang terhormat, bahkan ada kemungkinan anggota keluarga Raja.

C. Peran wali songo dalam mendakwahkan ajaran agama Islam di Jawa
Sukses gemilang perjuangan para wali songo tercatat dengan tinta emas. Dengan didukung penuh oleh Kesultanan Demak Bintoro, agama Islam kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan. Islam benar-benar menjadi agama yang mengakar. Proses Islamisasi di pulau Jawa berjalan dengan aman dan damai, tanpa ada pergolakan serta kegoncangan psikologis dan sosial.
Hal ini disebabkan para wali lebih menggunakan pendekatan kultural, yang sarat dengan simbol-simbol kebudayaan lokal, seperti wayang dan gamelan. Akulturiasasi kebudayaan yang dipelopori oleh wali songo dilanjutkan oleh para juru dakwah berikutnya sehingga pengamalan dan praktek Islam di Jawa terasa amat khas. Agama dan budaya berjalan secara selaras serasi dan seimbang.
Wali Songo berarti sembilan orang wali. Nama suatu dewan dakwah di Kesultanan Demak pada abad ke-15 sampai 16 M. Sebenarnya jumlah Wali Songo bukan hanya sembilan. Jika ada anggota yang meninggal dunia, maka diganti oleh wali yang baru. Angka Songo atau sembilan adalah angka “keramat” bagi orang Jawa, angka yang dianggap paling tinggi. Dewan dakwah itu dibuat sembilan, angka yang ganjil, diduga dengan maksud apabila terjadi voting dalam menentukan suatu fatwa tidak terjadi kesamaan suara, sehingga keputusan musyawarah mudah diambil.
Diantara walisongo yang termashur itu adalah mereka, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kali Jaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulala Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijogo adalah sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria adalah anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus adalah murid Sunan Kalijogo. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

IV. PENUTUP
Ada beberapa hal yang perlu dicatat sehubungan dengan adanya Islamisasi di Jawa.
1. Agama Hindu, Budha, dan kepercayaan lama telah berkembang lebih dulu jika dibandingkan dengan ajaran Islam. Agama Hindu dan Budha dipeluk oleh kalangan elit kerajaan sedangkan kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dan dinamisme dipeluk oleh kalangan awam.
2. Meskipun masih diperdebatkan kapan masuknya Islam ke Jawa, tetapi Islamisasi besar-besaran baru terjadi pada abad ke-15 dan ke-16 dengan ditandai jatuhnya Kerajaan Majapahit, Kerajaan Hindu Jawa, pada tahun 1478, dan berdirinya Demak, kerajaan Islam Jawa pertama.
3. Era wali songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia khususnya Jawa.